Logo

Logo

Legenda Si Pitung


Legenda Si Pitung

Si Pitung adalah tokoh legendaris dan pahlawan dalam masyarakat Betawi di Jakarta. Ia dipercaya sebagai
pesilat unggul yang saleh dan rendah hati. Dengan keahliannya itu, ia membela rakyat kecil di daerah
Jakarta yang tertindas oleh penjajahan Belanda. Ia merampok orang­orang yang menjadi kaya karena
menjadi kaki tangan Belanda, lalu membagi­bagikan hasil rampasannya kepada rakyat jelata. Sehingga, ia
dikenal juga sebagai “Robin Hood dari Betawi”.
Hingga kini, orang Betawi percaya bahwa si Pitung memang pernah ada, berjuang, dan setelah gugur
dimakamkan di Marunda, Jakarta Utara. Berikut ini kisah pesilat legendaris tersebut.
***
Pada suatu sore, Pak Piun duduk­duduk di depan rumahnya. Seharian ia bekerja di sawah, dan sore itu ia
ingin melepas lelah bersama keluarganya. Bu Pinah, istrinya, duduk di balai­balai bambu sambil
memegangi perutnya yang membuncit. Beberapa hari lagi Bu Pinah akan melahirkan. Pak Piun
tersenyum bahagia, sembari menggumamkan doa, semoga anak yang lahir kelak akan menjadi anak
yang berguna.
Tiba­tiba salah satu dari ketiga anaknya yang duduk di dekat Bu Pinah bertanya kepada Pak Piun.
“Pak, kenapa padi yang baru saja dipanen dirampas oleh centeng­centeng[1] Babah Liem?”
Pak Piun terdiam sejenak, lalu menjawab dengan pelan.
“Biarlah, Nak. Lagipula kita masih punya padi.”
Sebenarnya, hati Pak Piun sedih bukan kepalang. Ia pun risau karena padi yang baru saja dipanen tibatiba
saja dirampas oleh centeng­centeng Babah. Namun, di daerah itu, rakyat jelata seperti dia tidak bisa
melawan perampasan itu.
Kampung Rawabelong, kampungnya, adalah bagian dari partikelir[2] Kebayoran. Tuan Tanah yang
berkuasa di sana adalah Liem Tjeng Soen. Tanah partikelir itu diperoleh dari pemerintahan Belanda
melalui pembelian dokumen tanah, serta kesediaan untuk membayar pajak kepada Belanda.
Untuk menjaga tanah itu, Babah Liem mengangkat centeng­centeng dari kalangan pribumi. Mereka
bertugas menagih pajak kepada penduduk. Para penduduk tidak berani melawan centeng­centeng yang
pandai bersilat dan mahir memainkan senjata itu. Maka, mereka hanya terdiam ketika centeng­centeng
mengambili ayam, kambing, padi, dan apa saja yang bisa dibawa.
Beberapa hari kemudian, Bu Pinah melahirkan. Pak Piun menamai anak yang baru lahir itu Pitung, dan
memanggilnya dengan nama si Pitung. Sebagaimana anak­anak Betawi umumnya, Pitung dibesarkan
dalam keluarganya sendiri. Ia diajari tata krama, belajar mengaji, membantu ayahnya menanam padi,
memetik kelapa, dan mencari rumput untuk pakan kambing. Adakalanya Pitung membantu tetanggatetangganya
tanpa diminta.
Pitung pun rajin menunaikan perintah Allah, sholat dan puasa, serta selalu bertutur kata dengan santun
dan patuh kepada kedua orangtuanya.
Pitung belajar pengetahuan agama dan silat serta ilmu bela diri lainnya dari Haji Naipin, seorang ulama
yang dihormati di kampung Rawabelong. Karena Pitung patuh dan rajin berlatih, ia menjadi murid
kesayangan Haji Naipin. Kepadanya seluruh ilmu Haji Naipin dicurahkan, dengan harapan kelak ia
menjadi murid yang berguna bagi masyarakat. Haji Naipin bahkan memberikan ilmu Pancasona, sebuah
ilmu kebal senjata, kepada Pitung. Kata Haji Naipin, “Ilmu ini buat membela yang lemah dari kezaliman,
bukan untuk menzalimi orang.”
Meski menjadi murid kesayangan Haji Naipin, tetapi Pitung selalu rendah hati. Kepada orang lain ia selalu
bersikap santun dan terpuji. Ia pun tak luput dari gejolak masa muda. Ia menjalin hubungan dengan
Aisyah, dan berjanji akan menikah bila kelak usia mereka sudah pantas untuk menikah.
Pada suatu hari, Pitung menyaksikan sendiri kesewenang­wenangan centeng­centeng Babah Liem.
Centeng­centeng itu mendatangi rumah tetangganya dan merampas ayam, kambing, kelapa, dan
simpanan padi di lumbung. Sebagai pemuda, darahnya mendidih. Ia ingin menghajar mereka.
Namun, ibunya mencegah Pitung.
“Jangan, Tung. Mereka punya kuasa. Nanti juga mereka mendapatkan hukuman sendiri.”
Karena ingin mematuhi nasehat ibunya, Pitung mengurungkan niatnya untuk menghajar centengcenteng
itu. Namun, di hari lain, ketika ia sedang berkunjung di kampung tetangga, ia melihat lagi
centeng­centeng itu bertindak sewenang­wenang.
Pitung tak dapat menahan diri lagi. Dihampirinya centeng­centeng yang sedang sibuk merampasi barang
keluarga yang malang itu.
“Hei, para pengecut!” seru Pitung. “Kenapa kalian merampas harta orang lain? Pakai keroyokan lagi.
Sendiri­sendiri kalau berani!”
Pemimpin centeng menoleh kepada Pitung dan tersenyum merendahkan.
“Hai, kamu tidak tahu siapa kami ini ya? Pantas saja kamu berani membentak­bentak seperti itu.”
“Cuih!” Pitung meludah dengan marah. “Kalian hanya berani mengeroyok orang yang lemah. Sini, kalau
berani bertarung melawanku.”
Pemimpin centeng itu menjadi geram. Ia menyerang Pitung sekenanya saja, mengira bahwa Pitung akan
mudah dirobohkan. Namun, di luar dugaannya, Pitung malah mencekal lengannya dan membantingnya
ke tanah hingga pingsan. Centeng­centeng yang lain menghentikan kesibukan mereka dan mengepung
Pitung. Dengan sigap Pitung menyerang lebih dulu. Ada lima centeng yang mengeroyoknya. Satu demi
satu ia hajar pelipis atau tulang kering mereka hingga mereka mengaduh kesakitan. Lalu mereka
menggotong pimpinan centeng yang masih pingsan dan melarikan diri.
Sebelum pergi, mereka mengancam: “Awas, nanti kami laporkan Demang.”
Beberapa hari setelah peristiwa itu, nama Pitung menjadi buah bibir di seluruh Kebayoran. Namun, Pitung
tak mau congkak. Ia bahkan menghindar kalau ada orang yang bertanya kepadanya tentang kejadian itu.
Suatu hari, Pak Piun menyuruh Pitung menjual kambing ke Pasar Tanah Abang. Pak Piun sedang
membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pitung pun mengeluarkan dua ekor kambing
dari kandang dan menuju ke Pasar Tanah Abang. Tanpa sepengetahuannya, ada seorang centeng yang
membuntutinya. Centeng itu terus mengawasi Pitung ketika Pitung mengantongi uang hasil penjualan
kambing. Bahkan ketika Pitung berjalan pulang dan singgah di sebuah mushola, orang itu tetap
membuntutinya. Ketika Pitung melepas bajunya untuk mandi di sungai dan berwudhu, orang itu mencuri
uang di saku baju Pitung.
Pitung sampai di rumah dan dimarahi ayahnya karena uang itu hilang. Dengan geram ia kembali ke Pasar
Tanah Abang dan mencari orang yang telah mencuri uangnya. Setelah melakukan penyelidikan, ia
menemukan orang itu. Orang itu sedang berkumpul dengan centeng­centeng lainnya di sebuah kedai
kopi.
Pitung mendatanginya dan menghardik, “Kembalikan uangku!”
Para centeng itu tertawa.
Salah seorang berkata, “Kamu boleh ambil uang ini, tapi kamu harus menjadi anggota kami.”
“Cuh! Tak sudi aku jadi maling,” jawab Pitung dengan kasar.
Para centeng itu marah mendengar jawaban Pitung. Serentak mereka menyerbu Pitung. Namun, yang
mereka hadapi adalah Si Pitung dari Kampung Rawabelong yang pernah menghajar enam orang centeng
Babah Liem sendirian. Akibatnya, satu demi satu mereka kena tinju Si Pitung. Yang berani menggunakan
senjata malah dimakan sendiri oleh senjata mereka.
Sejak hari itu, Si Pitung memutuskan untuk membela orang­orang yang lemah. Ia tak tahan lagi melihat
penderitaan rakyat jelata, yang ditindas centeng­centeng tuan tanah dan dihisap oleh penjajah Belanda.
Beberapa centeng yang pernah dihajarnya ada yang insyaf dan ia mengajak mereka untuk membentuk
suatu kelompok. Bersama kelompoknya, ia merampoki rumah­rumah orang kaya dan membagi­bagikan
harta rampasannya kepada orang­orang miskin dan lemah.
Nama Pitung menjadi harum di kalangan rakyat jelata. Namun, pada saat yang bersamaan, muncul juga
kelompok­kelompok lain yang ikut­ikutan merampok atas nama Si Pitung. Para tuan tanah dan orangorang
yang mengambil keuntungan dengan cara memihak Belanda menjadi tidak tenteram. Mereka
mengadukan persoalan itu kepada pemerintah Belanda.
Penguasa penjajah di Batavia pun memerintahkan aparat­aparatnya untuk menangkap Si Pitung. Schout
Heyne, kontrolir[3] Kebayoran, memerintahkan mantri polisi dan bek untuk mencari tahu di mana Pitung
berada. Schout Heyne menjanjikan uang banyak kepada siapa saja yang mau memberi tahu keberadaan
si Pitung
Mengetahui dirinya menjadi buron, Pitung berpindah­pindah tempat, bahkan pernah sampai ke Marunda.
Selama itu, ia tetap melaksanakan perampasan harta orang­orang kaya, para demang dan tuan tanah.
Harta rampasan selalu ia berikan kepada rakyat yang lemah dan tertindas oleh penjajahan.
Namun, pada suatu hari, Pitung dan kelompoknya terjebak oleh siasat polisi. Waktu itu mereka akan
merampok rumah seorang demang. Polisi sudah lebih dulu bersembunyi di sekitar rumah demang itu.
Ketika kelompok Pitung tiba, polisi segera mengepung rumah itu. Pitung membiarkan dirinya tertangkap,
sementara teman­temannya berhasil meloloskan diri. Ia dibawa ke penjara Grogol dan disekap di sana.
Namun, karena selalu memikirkan nasib rakyat, ia meloloskan diri lewat genteng pada suatu malam. Para
penjaga menjadi panik karenanya.
“Wah, bagaimana ini? Ke mana si Pitung” tanya mereka kepada teman satu sel Pitung.
“Saya tak tahu. Pitung kan sakti. Dia bisa menghilang,” jawab teman satu sel Pitung.
Kabar bahwa Pitung lolos membuat kontrolir dan orang­orang kaya menjadi tidak tenteram lagi. Schout
Heyne memerintahkan orang untuk menangkap Pak Piun dan Haji Naipin. Kedua orang itu disiksa agar
memberitahukan di mana Si Pitung berada. Namun, keduanya bungkam. Akibatnya, mereka berdua pun
dibui di Grogol.
Sementara itu, Pitung terus menjalankan kegiatannya. Namun, ia menjadi berpikir panjang ketika
mendengar kabar bahwa ayah dan gurunya dibui polisi. Ia mengirim pesan bahwa ia bersedia
menyerahkan diri bila kedua orang itu dibebaskan. Schout Heyne setuju.
Pada hari yang ditentukan, mereka membawa Haji Naipin ke tanah lapang. Pak Piun sudah lebih dulu
dibebaskan. Di tanah lapang itu, sepasukan polisi menodongkan senjata kepada Haji Naipin. Pitung
muncul sendirian. Schout Heyne menyuruh Pitung menyerah. Pitung meminta agar Haji Naipin
dilepaskan dulu.
Setelah Haji Naipin dilepaskan, Pitung maju menghadapi Schout Heyne. Pasukan polisi kini membidikkan
senjata mereka kepada Pitung.
“Huh, tertangkap juga kamu, Pitung!” dengus Schout Heyne dengan nada sombong.
“Iya, tapi nanti aku pasti akan lolos lagi. Dengan orang pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya
mengandalkan anak buah, aku tidak takut,” jawab Pitung.
Schout Heyne menjadi marah. Ia mundur beberapa langkah dan memberi aba­aba agar pasukannya
bersiap menembak. Haji Naipin yang masih ada di situ memprotes tindakan yang pengecut itu. Namun,
sudah terlanjur, perintah menembak sudah diberikan, dan Pitung pun roboh bersimbah darah.
Pitung dimakamkan beberapa hari kemudian. Banyak rakyat yang turut mengiringi pemakamannya dan
mendoakannya. Mereka akan selalu mengingat jasa Si Pitung, pembela dan pelindung mereka.
Beberapa bulan kemudian Schout Heyne dipecat dari jabatannya karena ia telah menembak orang yang
tidak melawan ketika ditangkap.
***
Walaupun pada akhirnya si Pitung gugur oleh peluru pasukan Belanda, tetapi ia gugur sebagai pahlawan
dan selalu dikenang oleh generasi selanjutnya. Kisah ini mengajarkan bahwa orang yang berani
menegakkan kebenaran dan keadilan akan selalu berguna bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Sedangkan orang pengecut seperti Scout Heyne, yang menggunakan akal licik untuk menghadapi lawan,
pada akhirnya akan memperoleh balasan dari kelicikannya.

No comments:

Post a Comment

Legenda Si Pitung

Legenda Si Pitung Si Pitung adalah tokoh legendaris dan pahlawan dalam masyarakat Betawi di Jakarta. Ia dipercaya sebagai pesilat un...