Logo

Logo

Legenda Si Pitung


Legenda Si Pitung

Si Pitung adalah tokoh legendaris dan pahlawan dalam masyarakat Betawi di Jakarta. Ia dipercaya sebagai
pesilat unggul yang saleh dan rendah hati. Dengan keahliannya itu, ia membela rakyat kecil di daerah
Jakarta yang tertindas oleh penjajahan Belanda. Ia merampok orang­orang yang menjadi kaya karena
menjadi kaki tangan Belanda, lalu membagi­bagikan hasil rampasannya kepada rakyat jelata. Sehingga, ia
dikenal juga sebagai “Robin Hood dari Betawi”.
Hingga kini, orang Betawi percaya bahwa si Pitung memang pernah ada, berjuang, dan setelah gugur
dimakamkan di Marunda, Jakarta Utara. Berikut ini kisah pesilat legendaris tersebut.
***
Pada suatu sore, Pak Piun duduk­duduk di depan rumahnya. Seharian ia bekerja di sawah, dan sore itu ia
ingin melepas lelah bersama keluarganya. Bu Pinah, istrinya, duduk di balai­balai bambu sambil
memegangi perutnya yang membuncit. Beberapa hari lagi Bu Pinah akan melahirkan. Pak Piun
tersenyum bahagia, sembari menggumamkan doa, semoga anak yang lahir kelak akan menjadi anak
yang berguna.
Tiba­tiba salah satu dari ketiga anaknya yang duduk di dekat Bu Pinah bertanya kepada Pak Piun.
“Pak, kenapa padi yang baru saja dipanen dirampas oleh centeng­centeng[1] Babah Liem?”
Pak Piun terdiam sejenak, lalu menjawab dengan pelan.
“Biarlah, Nak. Lagipula kita masih punya padi.”
Sebenarnya, hati Pak Piun sedih bukan kepalang. Ia pun risau karena padi yang baru saja dipanen tibatiba
saja dirampas oleh centeng­centeng Babah. Namun, di daerah itu, rakyat jelata seperti dia tidak bisa
melawan perampasan itu.
Kampung Rawabelong, kampungnya, adalah bagian dari partikelir[2] Kebayoran. Tuan Tanah yang
berkuasa di sana adalah Liem Tjeng Soen. Tanah partikelir itu diperoleh dari pemerintahan Belanda
melalui pembelian dokumen tanah, serta kesediaan untuk membayar pajak kepada Belanda.
Untuk menjaga tanah itu, Babah Liem mengangkat centeng­centeng dari kalangan pribumi. Mereka
bertugas menagih pajak kepada penduduk. Para penduduk tidak berani melawan centeng­centeng yang
pandai bersilat dan mahir memainkan senjata itu. Maka, mereka hanya terdiam ketika centeng­centeng
mengambili ayam, kambing, padi, dan apa saja yang bisa dibawa.
Beberapa hari kemudian, Bu Pinah melahirkan. Pak Piun menamai anak yang baru lahir itu Pitung, dan
memanggilnya dengan nama si Pitung. Sebagaimana anak­anak Betawi umumnya, Pitung dibesarkan
dalam keluarganya sendiri. Ia diajari tata krama, belajar mengaji, membantu ayahnya menanam padi,
memetik kelapa, dan mencari rumput untuk pakan kambing. Adakalanya Pitung membantu tetanggatetangganya
tanpa diminta.
Pitung pun rajin menunaikan perintah Allah, sholat dan puasa, serta selalu bertutur kata dengan santun
dan patuh kepada kedua orangtuanya.
Pitung belajar pengetahuan agama dan silat serta ilmu bela diri lainnya dari Haji Naipin, seorang ulama
yang dihormati di kampung Rawabelong. Karena Pitung patuh dan rajin berlatih, ia menjadi murid
kesayangan Haji Naipin. Kepadanya seluruh ilmu Haji Naipin dicurahkan, dengan harapan kelak ia
menjadi murid yang berguna bagi masyarakat. Haji Naipin bahkan memberikan ilmu Pancasona, sebuah
ilmu kebal senjata, kepada Pitung. Kata Haji Naipin, “Ilmu ini buat membela yang lemah dari kezaliman,
bukan untuk menzalimi orang.”
Meski menjadi murid kesayangan Haji Naipin, tetapi Pitung selalu rendah hati. Kepada orang lain ia selalu
bersikap santun dan terpuji. Ia pun tak luput dari gejolak masa muda. Ia menjalin hubungan dengan
Aisyah, dan berjanji akan menikah bila kelak usia mereka sudah pantas untuk menikah.
Pada suatu hari, Pitung menyaksikan sendiri kesewenang­wenangan centeng­centeng Babah Liem.
Centeng­centeng itu mendatangi rumah tetangganya dan merampas ayam, kambing, kelapa, dan
simpanan padi di lumbung. Sebagai pemuda, darahnya mendidih. Ia ingin menghajar mereka.
Namun, ibunya mencegah Pitung.
“Jangan, Tung. Mereka punya kuasa. Nanti juga mereka mendapatkan hukuman sendiri.”
Karena ingin mematuhi nasehat ibunya, Pitung mengurungkan niatnya untuk menghajar centengcenteng
itu. Namun, di hari lain, ketika ia sedang berkunjung di kampung tetangga, ia melihat lagi
centeng­centeng itu bertindak sewenang­wenang.
Pitung tak dapat menahan diri lagi. Dihampirinya centeng­centeng yang sedang sibuk merampasi barang
keluarga yang malang itu.
“Hei, para pengecut!” seru Pitung. “Kenapa kalian merampas harta orang lain? Pakai keroyokan lagi.
Sendiri­sendiri kalau berani!”
Pemimpin centeng menoleh kepada Pitung dan tersenyum merendahkan.
“Hai, kamu tidak tahu siapa kami ini ya? Pantas saja kamu berani membentak­bentak seperti itu.”
“Cuih!” Pitung meludah dengan marah. “Kalian hanya berani mengeroyok orang yang lemah. Sini, kalau
berani bertarung melawanku.”
Pemimpin centeng itu menjadi geram. Ia menyerang Pitung sekenanya saja, mengira bahwa Pitung akan
mudah dirobohkan. Namun, di luar dugaannya, Pitung malah mencekal lengannya dan membantingnya
ke tanah hingga pingsan. Centeng­centeng yang lain menghentikan kesibukan mereka dan mengepung
Pitung. Dengan sigap Pitung menyerang lebih dulu. Ada lima centeng yang mengeroyoknya. Satu demi
satu ia hajar pelipis atau tulang kering mereka hingga mereka mengaduh kesakitan. Lalu mereka
menggotong pimpinan centeng yang masih pingsan dan melarikan diri.
Sebelum pergi, mereka mengancam: “Awas, nanti kami laporkan Demang.”
Beberapa hari setelah peristiwa itu, nama Pitung menjadi buah bibir di seluruh Kebayoran. Namun, Pitung
tak mau congkak. Ia bahkan menghindar kalau ada orang yang bertanya kepadanya tentang kejadian itu.
Suatu hari, Pak Piun menyuruh Pitung menjual kambing ke Pasar Tanah Abang. Pak Piun sedang
membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pitung pun mengeluarkan dua ekor kambing
dari kandang dan menuju ke Pasar Tanah Abang. Tanpa sepengetahuannya, ada seorang centeng yang
membuntutinya. Centeng itu terus mengawasi Pitung ketika Pitung mengantongi uang hasil penjualan
kambing. Bahkan ketika Pitung berjalan pulang dan singgah di sebuah mushola, orang itu tetap
membuntutinya. Ketika Pitung melepas bajunya untuk mandi di sungai dan berwudhu, orang itu mencuri
uang di saku baju Pitung.
Pitung sampai di rumah dan dimarahi ayahnya karena uang itu hilang. Dengan geram ia kembali ke Pasar
Tanah Abang dan mencari orang yang telah mencuri uangnya. Setelah melakukan penyelidikan, ia
menemukan orang itu. Orang itu sedang berkumpul dengan centeng­centeng lainnya di sebuah kedai
kopi.
Pitung mendatanginya dan menghardik, “Kembalikan uangku!”
Para centeng itu tertawa.
Salah seorang berkata, “Kamu boleh ambil uang ini, tapi kamu harus menjadi anggota kami.”
“Cuh! Tak sudi aku jadi maling,” jawab Pitung dengan kasar.
Para centeng itu marah mendengar jawaban Pitung. Serentak mereka menyerbu Pitung. Namun, yang
mereka hadapi adalah Si Pitung dari Kampung Rawabelong yang pernah menghajar enam orang centeng
Babah Liem sendirian. Akibatnya, satu demi satu mereka kena tinju Si Pitung. Yang berani menggunakan
senjata malah dimakan sendiri oleh senjata mereka.
Sejak hari itu, Si Pitung memutuskan untuk membela orang­orang yang lemah. Ia tak tahan lagi melihat
penderitaan rakyat jelata, yang ditindas centeng­centeng tuan tanah dan dihisap oleh penjajah Belanda.
Beberapa centeng yang pernah dihajarnya ada yang insyaf dan ia mengajak mereka untuk membentuk
suatu kelompok. Bersama kelompoknya, ia merampoki rumah­rumah orang kaya dan membagi­bagikan
harta rampasannya kepada orang­orang miskin dan lemah.
Nama Pitung menjadi harum di kalangan rakyat jelata. Namun, pada saat yang bersamaan, muncul juga
kelompok­kelompok lain yang ikut­ikutan merampok atas nama Si Pitung. Para tuan tanah dan orangorang
yang mengambil keuntungan dengan cara memihak Belanda menjadi tidak tenteram. Mereka
mengadukan persoalan itu kepada pemerintah Belanda.
Penguasa penjajah di Batavia pun memerintahkan aparat­aparatnya untuk menangkap Si Pitung. Schout
Heyne, kontrolir[3] Kebayoran, memerintahkan mantri polisi dan bek untuk mencari tahu di mana Pitung
berada. Schout Heyne menjanjikan uang banyak kepada siapa saja yang mau memberi tahu keberadaan
si Pitung
Mengetahui dirinya menjadi buron, Pitung berpindah­pindah tempat, bahkan pernah sampai ke Marunda.
Selama itu, ia tetap melaksanakan perampasan harta orang­orang kaya, para demang dan tuan tanah.
Harta rampasan selalu ia berikan kepada rakyat yang lemah dan tertindas oleh penjajahan.
Namun, pada suatu hari, Pitung dan kelompoknya terjebak oleh siasat polisi. Waktu itu mereka akan
merampok rumah seorang demang. Polisi sudah lebih dulu bersembunyi di sekitar rumah demang itu.
Ketika kelompok Pitung tiba, polisi segera mengepung rumah itu. Pitung membiarkan dirinya tertangkap,
sementara teman­temannya berhasil meloloskan diri. Ia dibawa ke penjara Grogol dan disekap di sana.
Namun, karena selalu memikirkan nasib rakyat, ia meloloskan diri lewat genteng pada suatu malam. Para
penjaga menjadi panik karenanya.
“Wah, bagaimana ini? Ke mana si Pitung” tanya mereka kepada teman satu sel Pitung.
“Saya tak tahu. Pitung kan sakti. Dia bisa menghilang,” jawab teman satu sel Pitung.
Kabar bahwa Pitung lolos membuat kontrolir dan orang­orang kaya menjadi tidak tenteram lagi. Schout
Heyne memerintahkan orang untuk menangkap Pak Piun dan Haji Naipin. Kedua orang itu disiksa agar
memberitahukan di mana Si Pitung berada. Namun, keduanya bungkam. Akibatnya, mereka berdua pun
dibui di Grogol.
Sementara itu, Pitung terus menjalankan kegiatannya. Namun, ia menjadi berpikir panjang ketika
mendengar kabar bahwa ayah dan gurunya dibui polisi. Ia mengirim pesan bahwa ia bersedia
menyerahkan diri bila kedua orang itu dibebaskan. Schout Heyne setuju.
Pada hari yang ditentukan, mereka membawa Haji Naipin ke tanah lapang. Pak Piun sudah lebih dulu
dibebaskan. Di tanah lapang itu, sepasukan polisi menodongkan senjata kepada Haji Naipin. Pitung
muncul sendirian. Schout Heyne menyuruh Pitung menyerah. Pitung meminta agar Haji Naipin
dilepaskan dulu.
Setelah Haji Naipin dilepaskan, Pitung maju menghadapi Schout Heyne. Pasukan polisi kini membidikkan
senjata mereka kepada Pitung.
“Huh, tertangkap juga kamu, Pitung!” dengus Schout Heyne dengan nada sombong.
“Iya, tapi nanti aku pasti akan lolos lagi. Dengan orang pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya
mengandalkan anak buah, aku tidak takut,” jawab Pitung.
Schout Heyne menjadi marah. Ia mundur beberapa langkah dan memberi aba­aba agar pasukannya
bersiap menembak. Haji Naipin yang masih ada di situ memprotes tindakan yang pengecut itu. Namun,
sudah terlanjur, perintah menembak sudah diberikan, dan Pitung pun roboh bersimbah darah.
Pitung dimakamkan beberapa hari kemudian. Banyak rakyat yang turut mengiringi pemakamannya dan
mendoakannya. Mereka akan selalu mengingat jasa Si Pitung, pembela dan pelindung mereka.
Beberapa bulan kemudian Schout Heyne dipecat dari jabatannya karena ia telah menembak orang yang
tidak melawan ketika ditangkap.
***
Walaupun pada akhirnya si Pitung gugur oleh peluru pasukan Belanda, tetapi ia gugur sebagai pahlawan
dan selalu dikenang oleh generasi selanjutnya. Kisah ini mengajarkan bahwa orang yang berani
menegakkan kebenaran dan keadilan akan selalu berguna bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Sedangkan orang pengecut seperti Scout Heyne, yang menggunakan akal licik untuk menghadapi lawan,
pada akhirnya akan memperoleh balasan dari kelicikannya.

Naskah Teater Saya

Maafkan bila naskah saya aneh, masih beginner..

Si Bodoh dan Si Pintar
Musik pembukaan (musik suasana risih)
Ferdy
Ferdy dengan lesuh bertanya kepada Pemilik Perusahaan...

“Pak, saya bisa tidak melamar pekerjaan di perusahaan anda?”

Pemilik Perusahaan
“Maaf, perusahaan kami tidak menerima orang bodoh seperti anda. Silahkan Keluar!”

Pemilik Perusahaan melempar CV dan surat lamaran si Ferdy...

Permainan musik berhenti

Ferdy semakin lesuh dan keluar kantor dengan muka tanpa ekspresi... Ia teringat akan masa lalunya dimana Ia sangatlah bodoh dan tidak mempunyai pendidikan yang tinggi... Dari SMP sampai SMA dia selalu mendapatkan nilai yang pas-pas-an dan hampir diskors karena kebodohannya... Di dunia perkuliahan, Ferdy juga menyerah untuk mempelajari hal-hal yang baru, sehingga dipikirannya dia hanya ingin langsung bekerja...

Permainan musik sedih dimulai

Ferdy sambil berjalan dan melihat ke langit...
Ferdy
“Bapak... Bagaimana nasib anakmu ini sekarang yang sangat bodoh? Mengapa banyak perusahaan menolak aku saat aku ingin melamar kerja... Mereka tidak mengerti disamping nilai-nilaiku yang memprihatinkan, setidaknya mereka melihat dahulu bagaimana aku bekerja...”

Ferdy teringat akan Bapaknya yang sudah tiada, dan sekarang dia hidup bersama Ibunya... Segala kebutuhan dipenuhi oleh Ibunya... Ferdy merasa tak enak dan ingin sekali mencari nafkah supaya bisa menghidupi dirinya dan Ibunya...

Sambil menghela nafas, Ferdy membuka pintu rumah
Ferdy
“Selamat sore Ibu, Ferdy sudah pulang...”

Ferdy langsung pergi ke kamar dan membuang tas ranselnya...

 Ibu Menemui Ferdy di kamarnya, kemudian duduk di sampingnya...

Ibu
“Apa yang terjadi...? Mengapa pulang-pulang kamu terlihat begitu lesuh dan putus asa?”

Sambil menepuk punggung Ferdy

Jeda...
Permainan musik lembut dan sedih

Ferdy
“Mau bagaimana lagi Ibu... Ferdy menyerah karena sudah banyak perusahaan yang menolak Ferdy kerja karena kebodohan Ferdy...

Ibu
“Bodoh bagaimana...? Mereka kan belum mengetahui bagaimana kamu bekerja nanti...”

Sambil memukul meja Ferdy menjawab
Ferdy
“Percuma Ibu...! Semua CV Ferdy dibuang oleh para pemilik perusahaan yang Ferdy hampiri...!”

Ibu menepuk punggung Ferdy
Ibu
“Sabar ya Ferdy anakku... Biasanya perusahaan yang sombong seperti itu akan cepat bangkrutnya...

Permainan musik berhenti

Suara musik sejenak yang mengagetkan
Ferdy
“Hah...? Jangan Ibu... Semoga mereka tetap selalu sukses dan menerima pelamar kerja dengan lebih baik lagi...”

Ibu
“Hahaha, maaf Ferdy, Ibu sedikit kesal mendengar cerita kamu... Bagaimana kalau kamu menjadi pedagang kue bareng Ibu...? Nanti Ibu ajari kamu bagaimana cara membuat kue yang enak...!”

Kata Ibu, Sambil tersenyum dan menyemangati Ferdy...

Permainan musik lembut dan sedih dimulai kembali

Ferdy menatap Ibu dengan muka sedihnya
Ferdy
“Tapi kan Ferdy maunya bisa bekerja sendiri tanpa merepotkan Ibu...”

Ibu
“Tenang, kamu tidak merepotkan Ibu...”

Ferdy
“Ferdy mau Ibu bahagia ketika Ferdy sudah mendapatkan pekerjaan... Apa Ibu yakin mau membuat anaknya jadi pedagang kue...?

Ibu Sambil tersenyum dan memeluk Ferdy...
Ibu
“Ibu sudah bahagia dengan adanya diri kamu bersama Ibu... Kamu tidak perlu khawatir... Untuk saat ini, kamu cukup membantu Ibu dalam membuat kue dan coba menjualnya di toko-toko kue, siapa tahu mereka mau pesan sama kita, bagaimana...?”

Ferdy Melepaskan pelukkan dari Sang Ibu
Jeda
Ferdy
“Baiklah Ibu, Ferdy akan mencoba membantu Ibu... Tapi tolong maafkan Ferdy jika Ferdy  sulit untuk mengerti bagaimana cara membuat kue karena kebodohan Ferdy ini...”


Ibu
“Kamu tidak bodoh Ferdy...”

Ferdy
Kalau begitu Ferdy berjanji... Setelah dagangan kue Ibu menjadi terkenal, Ferdy akan membuka cabang sendiri dengan segala usaha Ferdy sendiri...

Ibu
“Ibu akan menunggunya...”

Ferdy
“Ferdy harap Ibu mengerti... Terima kasih banyak Ibu...”

Ferdy memeluk erat Ibunya

Ibu
“Sama-sama anakku, Ferdy... Semoga dagangan kue kita ini sukses...”

Permainan Musik sedih berhenti

Akhirnya, Ferdy bersikeras mencoba untuk menjadi seorang pedagang kue dan Ia dibantu oleh Ibunya... Ferdy juga berjanji untuk membuka cabang sendiri dengan membuat kue racikan Ia sendiri...

Disamping Ferdy yang sudah di rumah bersama Ibunya, ada seorang perempuan yang  baru saja  ditendang keluar dari perusahaan di suatu tempat karena tidak bisa bekerja dengan baik dan selalu bermalas-malas-an...  Nama perempuan ini adalah Livia... Livia merupakan kebalikkan dari Ferdy... Livia adalah seorang wanita  yang cantik dan pintar namun dia tidak memiliki keahlian dalam bekerja...

Permainan musik kecil suasana riang

Livia sambil berjalan-jalan dan melihat di area sekitarnya... Bergumam tentang suatu hal...
Livia

“Kapan aku bisa kerja yang sesuai dengan keahlian aku...? Percuma aku pintar, tetapi ketika bekerja, aku akui tidak bisa melakukan apa-apa karena aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan ketika bekerja...”

Livia merupakan seorang wanita yang cantik dan menawan yang selalu diidamkan oleh para pria... Namun disamping kecantikkannya yang luar biasa, Livia tidak bisa bekerja... Livia mencoba untuk mencari cara lain untuk bekerja... Dia browsing internet bagaimana cara mencari nafkah dengan hal-hal yang simpel... Dan Livia menemukan satu cara, yaitu menjadi pedagang kue...

Livia
“Hmm... Mungkin menjadi pedagang kue bisa mendapatkan uang yang cukup ketika aku sukses nanti... Baiklah, aku akan mencoba untuk berlatih membuat kue sendiri...”

Permainan musik berhenti

Hari demi hari Livia mencoba membuat kue, namun selalu mendapatkan hasil yang tidak memuaskan... Kue yang Ia buat selalu gagal dan tidak memiliki rasa yang enak... Dia kembali browsing di internet dan mencari resep-resep kue dan bagaimana cara membuatnya... Setelah dia tahu bagaimana cara yang benar, ternyata Livia harus menggunakan bahan-bahan impor dan dia harus membelinya di mall...

Disamping situasi yang dihadapi oleh Livia, Ferdy sudah bisa membuat kue dengan rasa yang enak dan mulai mencoba menjual ke beberapa toko kue... Ferdy menghasilkan uang yang sangat lumayan untuk mengjidupi dirinya dan ibunya... Suatu hari, Ferdy ingin mencoba membuat kue dengan bahan-bahan yang berbeda...

Ferdy
“Akhirnya dagangan kue Ibu laku, dan banyak yang memesannya sekarang...”

Ibu mengelus kepala Ferdy
Ibu
“Ibu senang sekali kamu mau membantu Ibu untuk membuat kue dan menjualnya...”

Ferdy
“Hehehe, terima kasih Ibu... Sekarang Ferdy ingin mencoba membuat kue yang baru tapi menggunakan bahan-bahan yang lain... Kira-kira bisa tidak Ibu?”

Sambil meletakkan kue yang sudah matang Ferdy menghampiri Ibunya...

Dengan wajah khawatir Ibu bertanya kepada Ferdy yang sibuk menata kue buatannya...
Ibu
“Ohh, tentu saja kamu bisa nak... Kamu bisa menggunakan bahan-bahan impor dan membelinya di mall... Tapi bahan-bahan tersebut sangatlah mahal... Kamu bisa membelinya?”

Ferdy
“Tenang Ibu, Ferdy sudah memiliki uang yang cukup dari hasil dagangan kue Ibu... Jika bahan-bahannya mahal, maka Ferdy akan menaikkan harga kue yang Ferdy buat supaya tidak rugi...”

Ferdy selesai menyusun kue dan langsung bersiap-siap pergi ke mall...

Ferdy
“Ferdy sekarang mau pergi dulu ke mall ya Ibu... Semoga nanti Ferdy mendapatkan bahan yang pas untuk kue Ferdy nanti...!”

Ibu
“Iya Ferdy... Hati-hati di jalan dan jangan sampai ada yang tertinggal ketika belanja nanti...”

Sambil keluar pintu rumah Ferdy pamitan dengan Ibunya...

Ferdy pergi ke mall... Setelah sampai, dia mencari bahan-bahan impor dengan bertanya kepada sales yang ada di booth bahan-bahan kue... Memang Ferdy tidak mengerti bahasa asing yang tertulis di bahan-bahan kue ini, tapi dia diberi tahu oleh sales tersebut dan dia mengerti apa maksudnya...

Livia yang sudah sampai di mall sebelum Ferdy juga sudah berusaha mencari bahan-bahan kue tersebut, namun dia masih ragu untuk membeli yang mana... Ketika ia ingin mengambil satu bahan kue, Ia berpas-pas-an dengan Ferdy...

Dengan terburu-buru Livia mengambil bahan kue yang dipegang Ferdy...
Livia
“Ehh permisi, saya hendak mengambil bahan kue ini...!”

Permainan musik tegang dimulai

Ferdy kaget dan langsung melepas bahan kue yang ia pegang
Ferdy
“ Maaf, tapi saya juga mau mengambil bahan kue ini karena bahan ini direkomendasikan oleh sales yang jaga di sini...”

Ferdy kaget ketika ada perempuan cantik yang langsung mengambil bahan kue tersebut... Mereka berdua rebutan karena bahan kue tersebut sudah habis dan tinggal satu yang tersisa di booth tersebut...

Sambil tertawa Livia bertanya...
Livia
“Memangnya anda mau apa membeli bahan kue impor ini...?”

Dengan wajah kesal Ferdy menjawab dan kembali bertanya...
Ferdy
“Saya mau membuat kue untuk dagangan saya... Memangnya kenapa...? Anda juga membeli bahan ini untuk apa...?”

Livia
“Saya mau mencoba membuat kue untuk berjualan... Ngomong-ngomong kenapa anda berdagang kue...? Memangnya tidak ada pekerjaan lain...? Hahahaha...!”

Dengan sombong Livia bertanya...

Dengan agak sedikit kesal Ferdy menjawab Livia...
Ferdy
“Memang saya tidak ada pekerjaan lagi... Saya ditolak di berbagai perusahaan karena kebodohan saya... Tapi saya dibantu Ibu saya untuk membuat kue dan menjualnya ke beberapa toko dan laku... Sekarang saya  ingin membuat sendiri tanpa bantuan Ibu saya... Ingat ya...! Kue buatan Ibu saya dan saya sendiri sudah laku dimana-mana...!”

Permainan musik tegang dihentikan
Memulai permainan musik sedikit sedih

Livia
“Oh begitu ternyata... Hahahah, maaf ya... Saya sebenarnya sudah ada pekerjaan tapi tidak bertahan lama dan saya langsung dipecat karena saya tidak mengerti apa yang harus saya lakukan saat saya bekerja, sehingga saya hanya bermalas-malasan saja... Padahal saya pintar...”

Ferdy sejenak kaget setelah mendengar kata-kata Livia dan mencoba bertanya...
Ferdy
“Hmm, kalau begitu memang mbak sudah bisa membuat kue...? Sudah dicoba dijual...?”

Livia menjawab dengan sedikit sedih
Livia
“Saya sudah membuat, tetapi tidak memuaskan, karena saya hanya mengikuti cara dari internet sehingga setiap kali saya membuat kue dengan bahan yang ada selalu saja gagal... Sekarang saya mau mencoba membuat sendiri dengan bahan-bahan yang baru...”


Ferdy
“Seharusnya kalau sudah sering gagal, anda mencoba mencari cara lain yang bisa menghasilkan uang... Lagi pula banyak hal-hal yang bisa kita lakukan... Bagaimana kalau kita bekerja sama saja...? Saya si Bodoh yang bisa membuat kue, dengan anda Si Pintar yang tidak bisa membuat kue...”

Livia
“Hahaha, anda bisa saja membuat nama seperti itu... Anda yakin mau bekerja sama dengan saya...? Kan saya tidak mahir dalam membuat kue...”

Permainan musik sedih dihentikan
Permainan musik sedikit romantis dimulai

Ferdy dengan sedikit sombong berbicara dan mendekati Livia
Ferdy
“Tenang saja, saya akan mengajari anda cara membuat kue yang enak... Lagipula anda terlihat cantik dan saya ingin mencoba dekat dengan anda... Hehehe...”

Livia sedikit menjauh dari Ferdy
Livia
“Anda jangan gombal... Baru ketemu saja sudah menggoda saya... Ya sudah kalau begitu saya setuju bekerja sama dengan anda... Oh iya, ngomong-ngomong, nama anda siapa ya...?

Ferdy
“Ehehe, maaf ... Terima kasih mau bekerja sama dengan saya... Nama saya Ferdy... Anda sendiri...?

Livia
“Nama saya Livia... Mohon bantuannya ya,Ferdy...”

Ferdy
“Ok Livia... Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik dan menghasilkan kue yang enak dan bisa sukses disaat berdagang nanti...”

Musik romantis dihentikan

Ferdy dan Livia berjabat tangan dan setuju untuk bekerja sama... Mereka akan membuat suatu usaha kecil dengan berdagang kue-kue... Sebutan mereka adalah Si Bodoh dan Si Pintar... Apakah mereka bisa melengkapi satu sama lain...? Apakah mereka bisa bekerja sama dengan baik...?

Musik penutup dimainkan...

Poem by Robert Frost

The Road Not Taken
Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;

Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim,
Because it was grassy and wanted wear;
Though as for that the passing there
Had worn them really about the same,

And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black.
Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way,
I doubted if I should ever come back.

I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I—
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.

Legenda Si Pitung

Legenda Si Pitung Si Pitung adalah tokoh legendaris dan pahlawan dalam masyarakat Betawi di Jakarta. Ia dipercaya sebagai pesilat un...